Komdigi Kaji Influencer Wajib Punya Sertifikasi Buat Konten — Saat ini, Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi tengah melakukan pengkajian terkait wacana kebijakan baru yang serupa dengan kebijakan yang berlaku di China. Kebijakan tersebut mewajibkan para influencer harus memiliki sertifikat untuk bisa membuat konten tertentu.
Dikatakan langsung oleh Bonifasius Wahyu Pudjianto yang merupakan Kepala badan pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) bahwa pihaknya kini masih melakukan pembahasan internal terkait wacana kebijakan baru yang disebutkan di atas.

Ia juga mengatakan bahwa Komdigi rutin memantau kebijakan negara lain untuk dijadikan referensi yang akan menjadi langkah negara untuk menjaga ekosistem digital nasional di era ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sisem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) bahkan merupakan salah satu kebijakan yang terinspirasi dari negara Australia yang membatasi penggunaan media sosial untuk anak di bawah umur.
Bonifasius mengatakan bahwa Komdigi kaji influencer wajib punya sertifikasi buat konten tertentu ini merupakan hal yang perlu dilakukan agar dapat memastikan kompetensi para pembuat konten, apalagi konten terkait isu-isu yang sensitif, namun tak membatasi kebebasan berekspresi kreator di ruang digitalnya.
“Kita perlu menjaga, tapi jangan sampai terlalu mengekang. Kompetensi memang diperlukan, jangan sampai muncul tadi justru mereka yang membuat konten yang salah,” kata Bonifasius.
Sampai saat ini, masih belum pasti apakah pemerintah akan mengambil kebijakan ini untuk diadopsi di Indonesia atau tidak. Dan Komdigi masih memberikan kesempatan untuk berbagai pihak yang ingin memberikan masukan untuk menentukan arah kebijakan yang sedang dikaji ini.
Di China sendiri, pemerintah telah menerapkan kebijakan di Mana para influencer wajib memiliki ijazah atau sertifikasi akademik sebelum membuat konten profesional yang akan diunggah ke publik melalui media sosial. Dilansir melalui CNN Indonesia.
Dengan adanya aturan tersebut, berbagai aplikasi media sosial yang beroperasi di China seperti Douyin, Bilibili, serta Weibo mewajibkan kreator memverifikasi dirinya dengan menyertakan kualifikasi akademik sebelum mempublikasikan konten.
Jika melanggar kebijakan tersebut, maka akan dikenakan denda hingga 100.000 yuan atau sekitar Rp230 juta atau bahkan berpotensi akunnya akan ditutup secara permanen.
Ini merupakan kebijakan China yang akan menjaga integritas informasi daring mengurangi penyebaran hoaks di ruang digital yang semakin tak terkontrol ini.







